BPA (Bisphenol-A) banyak ditemukan pada barang-barang di sekitar kita, di antaranya di galon air kemasan. Benarkah kandungan BPA dapat menyebabkan gangguan kesehatan?
BPA (Bisphenol-A) banyak ditemukan pada barang-barang yang sering berkontak dengan kita. Tidak hanya pada kemasan pangan, seperti galon air dan botol susu bayi, melainkan juga pada barang-barang lain misalnya thermal paper yang digunakan pada kertas ATM/struk belanja, CD, peralatan olahraga, hingga peralatan medis seperti selang kateter, dan tambalan gigi.
Akhir-akhir ini, BPA sering dituding sebagai salah satu risiko permasalahan kesehatan. Ditengarai, BPA bersifat sebagai endocrine disruptor, yang bisa menyerupai hormon estrogen, memicu pubertas dini pada anak perempuan, dan berefek pada kelenjar prostat. Namun, benarkah demikian?
BPA adalah bahan baku pembuatan jenis plastik polikarbonat dan epoksi. “BPA diproses dengan bahan lain untuk menjadi polikarbonat. Kalau sudah jadi polikarbonat, dia menjadi material yang kuat. Kandungan BPA-nya sudah hampir tidak ada lagi, dan yang tersisa pun tidak mudah luruh,” papar Guru Besar dalam bidang Ilmu Rekayasa Proses Pengemasan Pangan IPB, yang juga ahli polimer, Prof. Dr. Nugraha Edhi Suyatma, S.T.P., DEA dalam acara Forum Ngobras di Jakarta, 10 September 2024 lalu.
Lebih jauh Prof. Nugraha menjelaskan, sisa BPA yang ada pada kemasan polikarbonat atau epoksi baru dapat berpotensi bermigrasi hanya pada kondisi ekstrim. “Polikarbonat itu sangat tahan panas; melting point-nya (titik leleh) 200 derajat Celcius. Proses distribusinya pun misalnya terkena panas dan sinar matahari selama perjalanan, tidak akan lebih dari 50 derajat. Jadi risiko migrasi sangat kecil sebenarnya,” papar Prof. Nugraha.
Tidak Terbukti Berbahaya
Sedangkan secara ilmiah, Ahli Endokrin-Metabolik, Dr. dr. Laurentius Aswin Pramono, Sp.PD-KEMD, menjelaskan, sejauh ini tidak ada pembuktian secara ilmiah bahwa BPA dapat menyebabkan masalah kesehatan pada manusia. Ia melanjutkan, sintesis data harus berbasis penelitian pada manusia, bukan di laboratorium pada hewan coba. “BPA diberikan secara sengaja dalam dosis yang sangat besar sehingga menimbulkan risiko kesehatan pada hewan coba,” imbuh Dr. dr. Aswin.
BPA tidak masuk ke guideline manapun sama sekali. “Belum ada konsensus bahwa BPA menyebabkan diabetes atau kanker. Belum ada sama sekali. Belum ada bukti (penelitian ilmiah) pada manusia. Yang ada hanya penelitian di lab dengan hewan coba,” tandasnya.

Hal senada disampaikan oleh Prof. Nugraha. Menurutnya, studi-studi terkait BPA belum konsisten dan belum cukup kuat. Ia melanjutkan, penelitian di Makassar menemukan, uji migrasi dari BPA pada kemasan pangan berkisar antara 0,0001 – 0,0009 mg/kg, jauh dari batasan BPOM 0,05 mg/kg. “Selain itu, temuan yang dilakukan oleh peneliti ITB mengemukakan bahwa BPA tidak terdeteksi pada galon dari empat merk yang banyak dikonsumsi di Indonesia. Hasilnya tidak terdeteksi melalui alat yang paling sensitif sekalipun,” paparnya.
Adapun TDI (tolerable daily intake) yang ditetapkan yaitu 4 mg/kg BB. Jadi misal berat badan (BB) 75 kg, maka batas asupan harian BPA maksimal yaitu (4 x 75) = 300 mg. Sekalipun air minum terpapar oleh BPA, kadarnya hanya 1/1.000 bagian. “Butuh 10.000 liter air dalam sekali minum untuk bisa mendapatkan kadar BPA yang melebihi ambang batas aman. Itu kan hal yang mustahil,” ujar Dr. dr. Aswin.